Panas,
dan kubutuh air.
Demi kesejukan kumerintih,
menahan tawa renta yang semakin menua, tanpa air.
Entah kenapa, Putra selalu merindukan Air, iya, Air. Dia yang telah lama membuatnya tersenyum tanpa malu yang hinggap selalu. Putra memang pemalu, parah, sering ngompol kalau lagi pilu oleh tawa ejekan teman-temannya. Tapi Air, selalu memberinya minum dan memaksanya tersenyum dengan kesegaran tawanya. Air memang OK, TOP dah buat kehidupannya.
“Senyum nae Putra! Isssh,.,.,”, rayu Air suatu pagi.
“Nah, gitu donk! Ga jaman banget cemen kaya kamu!”
“Eh sorry2,, hahahaha,.,kamu lucu deh!”
Dan Air pun pergi,
meninggalkan tawa lebarku.
Kesepian kini merenggut 2 nyawa,
aku dan hatiku.
Sambil cemberut seperti cecurut Putra menggambarkan perasaannya yang rindu melalui puisi dan bercerita kepada mentari. Tak luput dari senyumnya yang merindu dan sedih, burung tertawa. Sungguh kasihan kamu Putra. Dan malam minggu pun berlalu, tiap malam minggu tanpa kesempatan bertemu. “Emang dia pacarmu???!!!”, tanya cicak lucu. “Iya, lebih dari itu!!!!”, Putra menjawab dengan berteriak sendiri, iya, SENDIRI. Sudah gila dia. Sudah sinting. Sudahlah…
Membunuh waktu,
dan perih pergi.
Dalam penantian sunyi,
berdiri kenyataan tentang hidup, mati dan perjuangan.
Bukan semua yang buruk harus pergi,
tak sekalipun mati,
hanya ingin menanti.
Tak pergi, dan kau kuharap kembali,
bawa senyum itu,
agar aku tak palsu lagi.
Air, segarkan ingatanku akan senyuman.
Aku mati, dan perlahan sendiri,
iya, sendiri.
“Putraaaaa,, bangun!!!”
“Iya ma,,,arrgh!”
Pagi ini masih saja seperti dulu, dimana aku selalu merindumu.
“Putra, tadi ada yang nelpon kamu”, suara lembut sang mama membuat Putra terjaga.
“Siapa ma??? Tumben ada yang nelpon aku via telepon rumah”, jawabnya acuh, lebih menarik mengoleskan selai pada rotinya yang coklat.
“Nda tau mama! Dia nanyain kamu, pas mama tanya siapa, eh, malah ditutup telponnya”.
“Oooh, orang iseng kali, cewek ato cowok?”, menjawab sambil mulutnya penuh dengan roti selai kacang favoritnya. Matanya sedikit menerawang memikirkan siapa ya kira-kira yang nelpon pagi-pagi, perasaan temen-temenya selalu menghubunginya lewat HP, kalau ga Kaskus, YM, Twitter, e-mail, Skype, MySpace, atau FB yang jarang dia buka.
“Oh ya, dia juga bilang, ‘Putra masih suka minum air kan tante?’ aneh kan??!”, jawab mamanya sambil menuangkan susu kedelai low sugar buat Putra.
“Eh???!!”, tampaknya kesadaran akan sesuatu menamparnya penuh makna.
Dia datang,
benar-benar tanpa diundang.
Mebanjiriku dengan kenangan.
“Kamu masih ingat, di taman ini dulu kamu menolongku”, suaranya selembut gemericik hujan
“Uhm, kapan ya, ga ingat aku lho”, sambil memajang tampang serius.
“Oh”
“Aku ga mungkin lupa, tampang parahmu waktu permenmu jatuh, menangis dan duduk tanpa harapan di kursi itu. Seolah mengigau bilang ‘pasti mama marah!’ berulang-ulang.”
“:’)”, Air tersenyum, tiba-tiba menoleh penuh harap akan kenangan itu datang.
“Dan gara-gara kamu aku ga jadi makan permen yang dibeliin kakakku tau!! Huu,., “, sambil mengucek kepala Air, Putra tertawa, iya, tertawa begitu lepas walau membuat pipi Air jadi merah tersipu malu dan cemberut kesal. Tapi sungguh, dia begitu cantik bahkan ketika cemberut pun, pikir Putra girang.
Entah bagaimana kau menghilang, dan datang,
aku hanya peduli kini kau disini.
dan kubutuh air.
Demi kesejukan kumerintih,
menahan tawa renta yang semakin menua, tanpa air.
Entah kenapa, Putra selalu merindukan Air, iya, Air. Dia yang telah lama membuatnya tersenyum tanpa malu yang hinggap selalu. Putra memang pemalu, parah, sering ngompol kalau lagi pilu oleh tawa ejekan teman-temannya. Tapi Air, selalu memberinya minum dan memaksanya tersenyum dengan kesegaran tawanya. Air memang OK, TOP dah buat kehidupannya.
“Senyum nae Putra! Isssh,.,.,”, rayu Air suatu pagi.
“Nah, gitu donk! Ga jaman banget cemen kaya kamu!”
“Eh sorry2,, hahahaha,.,kamu lucu deh!”
Dan Air pun pergi,
meninggalkan tawa lebarku.
Kesepian kini merenggut 2 nyawa,
aku dan hatiku.
Sambil cemberut seperti cecurut Putra menggambarkan perasaannya yang rindu melalui puisi dan bercerita kepada mentari. Tak luput dari senyumnya yang merindu dan sedih, burung tertawa. Sungguh kasihan kamu Putra. Dan malam minggu pun berlalu, tiap malam minggu tanpa kesempatan bertemu. “Emang dia pacarmu???!!!”, tanya cicak lucu. “Iya, lebih dari itu!!!!”, Putra menjawab dengan berteriak sendiri, iya, SENDIRI. Sudah gila dia. Sudah sinting. Sudahlah…
Membunuh waktu,
dan perih pergi.
Dalam penantian sunyi,
berdiri kenyataan tentang hidup, mati dan perjuangan.
Bukan semua yang buruk harus pergi,
tak sekalipun mati,
hanya ingin menanti.
Tak pergi, dan kau kuharap kembali,
bawa senyum itu,
agar aku tak palsu lagi.
Air, segarkan ingatanku akan senyuman.
Aku mati, dan perlahan sendiri,
iya, sendiri.
“Putraaaaa,, bangun!!!”
“Iya ma,,,arrgh!”
Pagi ini masih saja seperti dulu, dimana aku selalu merindumu.
“Putra, tadi ada yang nelpon kamu”, suara lembut sang mama membuat Putra terjaga.
“Siapa ma??? Tumben ada yang nelpon aku via telepon rumah”, jawabnya acuh, lebih menarik mengoleskan selai pada rotinya yang coklat.
“Nda tau mama! Dia nanyain kamu, pas mama tanya siapa, eh, malah ditutup telponnya”.
“Oooh, orang iseng kali, cewek ato cowok?”, menjawab sambil mulutnya penuh dengan roti selai kacang favoritnya. Matanya sedikit menerawang memikirkan siapa ya kira-kira yang nelpon pagi-pagi, perasaan temen-temenya selalu menghubunginya lewat HP, kalau ga Kaskus, YM, Twitter, e-mail, Skype, MySpace, atau FB yang jarang dia buka.
“Oh ya, dia juga bilang, ‘Putra masih suka minum air kan tante?’ aneh kan??!”, jawab mamanya sambil menuangkan susu kedelai low sugar buat Putra.
“Eh???!!”, tampaknya kesadaran akan sesuatu menamparnya penuh makna.
Dia datang,
benar-benar tanpa diundang.
Mebanjiriku dengan kenangan.
“Kamu masih ingat, di taman ini dulu kamu menolongku”, suaranya selembut gemericik hujan
“Uhm, kapan ya, ga ingat aku lho”, sambil memajang tampang serius.
“Oh”
“Aku ga mungkin lupa, tampang parahmu waktu permenmu jatuh, menangis dan duduk tanpa harapan di kursi itu. Seolah mengigau bilang ‘pasti mama marah!’ berulang-ulang.”
“:’)”, Air tersenyum, tiba-tiba menoleh penuh harap akan kenangan itu datang.
“Dan gara-gara kamu aku ga jadi makan permen yang dibeliin kakakku tau!! Huu,., “, sambil mengucek kepala Air, Putra tertawa, iya, tertawa begitu lepas walau membuat pipi Air jadi merah tersipu malu dan cemberut kesal. Tapi sungguh, dia begitu cantik bahkan ketika cemberut pun, pikir Putra girang.
Entah bagaimana kau menghilang, dan datang,
aku hanya peduli kini kau disini.
Posting Komentar